Vladimir Putin, pekan lalu dilantik kembali sebagai Presiden Rusia untuk masa jabatan enam tahun (2012-2018). Sekalipun kembalinya Putin ke posisi orang nomor satu di Rusia melalui sebuah pemilihan umum yang demokratis (4 Maret 2012), tetapi keterpilihannya itu tetap saja menyisahkan kontroversi dan kekhawatiran.
Kontroversi, sebab dengan mudahnya Putin bertukar posisi dengan Dmitry Medvedev. Ketika Medvedev menjadi Presiden Rusia (2008-2012) Putin diangkatnya selaku Perdana Menteri. Sekarang, setelah Putin terpilih selaku Presiden, Medvedev dipilih Putin menjadi Perdana Menteri. Pertukaran sekaligus duet Putin-Medvedev kali ini adalah yang kedua kalinya.
Selain kontroversi, kembalinya Putin cukup menimbulkan kekhawatiran. Sebab diperkirakan terpilihnya Putin sebagai pemimpin Rusia bakal menimbulkan banyak persinggungan dengan negara adidaya Amerika Serikat. Banyak alasan mengapa Putin menjadi semacam tokoh Eropa (Timur) yang dapat menimbulkan persinggungan dengan Amerika Serikat.
Sebab Putin bukanlah tokoh Rusia yang bisa diajak berbaik-baikan dengan Washington. Bahkan dibandingkan dengan tokoh Uni Soviet di era Perang Dingin, Mikhail Gorbachev ataupun penggantinya, Boris Yeltsin, Vladimir Putin jauh lebih keras.
Ada semacam persepsi, pasca-berakhirnya Perang Dingin, dimana Amerika Serikat keluar sebagai pemenangnya Soviet, setiap tokoh yang berasal dari Moskow akan mudah ditaklukkan Washington. LIhat saja bagaimana Rusia sebagai pecahan Uni Soviet setelah dipimpin Boris Yeltsin, dengan gampangnya diajak Amerika Serikat bergabung dalam Kelompok Delapan atau Group of 8 (G-8).
Tetapi setelah Yeltsin digantikan Putin, suasananya sangat berbeda. Hingga sekarang Rusia masih menjadi bagian dari G-8 yang terdiri atas Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Itali, Perancis, Jerman dan Inggris. Tetapi secara kimiawi, keberadaan Rusia dalam G-8, tidak terlalu rekat. Lem perekatnya tidak kuat.
Putin selalu menempatkan Rusia dalam posisi yang hampir sama dengan sikap Uni Soviet, negara induk Rusia selama kurang lebih enam dekade. Yaitu hampir setiap negara yang menjadi musuh Amerika Serikat justru dirangkul oleh Putin.
Menghadapi Iran misalnya, Rusia merupakan satu-satunya negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang menentang kebijakan Amerika Serikat yang ingin mengucilkan Iran. Sama halnya dengan politik Amerika Serikat di Syria, salah satu negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel. Rusia merupakan pendukung rezim Asaad yang memerintah melalui KKN.
Di dekat Syria, Rusia tetap menjadi faktor penentu bagi jadi tidaknya konsep perdamaian Israel - Palestina. Sering terjadi, apa yang dimaui Amerika Serikat dalam perdamaan Israel-Palestina, di sisi lain, tidak diinginkan oleh Rusia.
Di negara-negara Amerika Latin, Rusia di bawah kepemimpinan Putin, juga kurang lebih sama. Semua negara Amerika Latin yang mengambil sikap yang tidak mau didikte oleh Amerika Serikat, dirangkul oleh Rusia.
Dalam hal persaingan spionase, Rusia tetap menempatlan agen-agen KGB terbaiknya di Amerika Serikat seperti di era Perang Dingin. Masih ingat di 2010, Amerika Serikat digegerkan oleh agen rahasia KGB, Anna Chapman. Anna dideportase ke Moskow melalui pertukaran agen mata-mata CIA yang ditahan Rusia. Kini Anna kabarnya menjadi isteri simpanan Putin.
Putin memang bukan seorang tokoh komunis Rusia atau Uni Sovyet seperti Stalin dan Lenin. Dua pemimpin Uni Sovyet yang membawa negara itu terlibat dalam Perang Dingin dengan Amerika Serikat (1948-1991).
Tetapi dalam soal keteguhan, Putin mirip Stalin dan Lenin. Putin mirip seorang pemeluk ideologi tertentu yang keyakinannya pada ideologi itu sangat kuat. Dan ideologi Putin itu - di era sekarang, memiliki pengikut yang cukup massiv di Rusia. Ideologi Putin bukan lagi soal politik dan komunisme melainkan kemakmuran dan martabat sebuah bangsa.
Kebetulan Putin berhasil mengubah sistem ekonomi Rusia, sehingga 130 juta penduduk negara itu saat ini merasakan sebuah kesejahteraan yang tidak pernah dinikmati bangsa itu selama hampir seratus tahun.
Demikian berhasilnya Rusia atau Putin mengubah kesejahteraan bangsanya, sehingga negara itu sekarang memiliki orang kaya terbanyak di dunia setelah Amerika Serikat. Inilah yang menyebabkan Putin mendapat dukungan luas di Rusia, setelah negara itu pecah 16 negara induknya Uni Soviet.
Sekalipun Putin lahir di Jerman Timur, ketika ayahnya bertugas di sana sebagai perpanjangan tangan dari rezim komunis Uni Sovyet di negara satelitnya itu, tetapi dalam perkembangan jati dirinya, Putin bukan seorang penganut ideologi komunis.
Di bawah pemerintahan Putin semua agama di Rusia : Orthodoks, Kristen, Islam, Budha dan Judaisme, mendapatkan hak yang sama. Bahkan ketika pekan lalu Putin dilantik selaku Presiden, bekas agen rahasia KGB itu bersumpah atau disumpah oleh pendeta Orthodoks.
Tak bisa dibantah secara global Amerika Serikat berhasil memenangkan Perang Dingin. Kemenangan Amerika Serikat itu menyebabkan Uni Soviet pecah menjadi 16 buah negara dan Rusia merupakan satu di antara negara pecahan tersebut.
Tapi kemenangan Amerika Serikat ini tidak membuat Rusia serta merta tunduk kepada Washington. Bahkan di tangan Vladimir Putin semangat Rusia untuk menyaingi Amerika Serikat demikian tinggi.
Terakhir Rusia bergabung dalam kelompok yang disebut BRICS (Brazil, Rusia, India, China, South Afrika - Afrika Selatan).
Penguatan BRICS dari waktu ke waktu terus terjadi. BRICS antara lain ingin menghapus dolar Amerika Serikat sebagai mata uang perdagangan internasional. Kalaupun tidak terhapus, minimal mata uang yang berasal dari China atau Rusia bahkan India bisa menjadi alat pembayaran sah dalam transaksi internasional.
Tentu saja agenda BRICS yang didukung kuat oleh Vladimir Putin, sangat mengganggu Amerika Serikat. Sehingga inilah yang dikhawatirkan, terpilihnya Putin sebagai Presiden Rusia, bisa menyebabkan timbulnya kembali Perang Dingin model baru.
Kekhawatiran ini semakin bertambah sebab Putin yang menjadi tokoh sentral, setelah masa jabatannya berakhir di tahun 2018, berpeluang untuk melanjutkan satu periode selama 6 tahun lagi, atau hingga 2024. [mdr]